PERUBAHAN
SOSIAL BUDAYA
(Studi
Kasus: Perubahan Gaya Hidup Anak Muda di Desa Wironanggan Sukoharjo)
ABSTRAK
Perkembangan
suatu daerah tidak dapat dipisahkan dari peran serta anak muda. Terdapat
perubahan yang signifikan terkait dengan gaya hidup anak muda yang mengalami
pergeseran akibat adanya pengaruh globalisasi. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana perubahan gaya hidup anak muda di Desa Wironanggan,
Sukoharjo. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Wironggunan,
Sukoharjo, tentang perubahan gaya hidup anak muda, dapat diketahui bahwa
terdapat perubahan
gaya
hidup anak muda yang meliputi cara berpakaian yang cenderung memilih produk
bermerek, kebiasaan nongkrong, dan gaya bahasa yang cenderung menggunakan logat
kota dan menggunakan bahasa gaul. Kondisi demikian terjadi karena proses
pergeseran budaya dari daerah yang cenderung menjadi budaya kota yang identik
dengan kehidupan mall dan nongkrong, sehingga bukan hanya cara berpakaian yang
berubah, namun pola kebiasaan anak muda juga mengalami perubahan. Namun
demikian, tidak semua budaya kota tersebut sesuai dan baik untuk diadopsi. Oleh
karena itu, anak muda di desa tetap harus mampu memilih dan memilah budaya mana
yang sesuai dengan kepribadiannya, sehingga gaya hidup di lingkungan desa yang
mengedepankan rasa kekeluargaan dan persaudaraan tetap lestari terjaga. Kata
kunci: perubahan, gaya hidup.
BAB I
Latar Belakang
Pada
era globalisasi seperti sekarang ini, tingkat arus informasi telah berkembang
sedemikian rupa sehingga pengaruhnya dapat dengan cepat terlihat dan terasa di
dalam masyarakat. Dengan didukung informasi superhighway, unsurunsur budaya
global dapat memasuki dunia lokal dengan sangat cepat dan intensif. Pengaruh
budaya global terhadap budaya lokal berarti suatu serangan terhadap identitas
suatu bangsa. Inti dari kehidupan berbangsa adalah budaya. Salah satu contohnya
adalah gaya hidup kongko-kongko di kafe menjadi tren dalam masyarakat kita,
yang tanpa kita sadari hal tersebut merupakan pengaruh globalisasi. Terkait
dengan pengaruh globalisasi, perkembangan suatu daerah tidak dapat dipisahkan
dari peran serta anak muda. Anak muda menempati lapisan elit yang dapat
menunjukan statusnya melalui gaya hidup tertentu. Perubahan yang terlihat
adalah gaya hidup anak muda di desa yang mengalami pergeseran. Anak muda yang
sebelumnya hanya nongkrong di oskamling, sekarang nongkrong di kafe dan merubah
gaya hidupnya, mulai dari cara berbicara, berpakaian, dan tempat nongkrong.
Anak muda sering menghabiskan waktu luangnya untuk berkumpul dengan teman
sebaya. Kondisi demikian juga terjadi pada anak muda di Desa Wironanggan
sebagai akibat dari pengaruh globalisasi yang sudah masuk di desa tersebut,
salah satunya adalah dengan nongkrong di
kafe.
Belakang ini nongkrong di kafe merupakan tren gaya hidup anak muda. Anak muda
dan nongkrong adalah dua hal yang sudah melekat. Para siswa usai jam pelajaran,
mahasiswa di antara jam kuliah, bahkan karyawan sepulang jam kantor, akan mudah
dijumpai duduk duduk di kafe. Ada pencitraan norma baru di masyarakat
seolah-olah orang akan menjadi udik dan ketinggalan zaman bila belum pernah
minum kopi di kafe. Ada rasa yang beda ketika mereka masuk dan nongkrong di
tempat-tempat yang identik dengan gaya hidup elit. Tidak hanya rasa tetapi
mereka membeli pola dan gaya hidup, agar mereka menjadi orang modern. Gaya
hidup mencerminkan keseluruhan pribadi yang beriteraksi dengan lingkungan. Maka
dari itu dapat disimpulkan bahwa gaya hidup adalah pola hidup seseorang yang
dinyatakan dalam kegiatan, minat, dan pendapatnya dalam membelanjakan uang dan
mengalokasikan waktu. Seperti pola konsumtif yang terjadi pada anak muda saat
ini. Perubahan pada gaya hidup anak muda selain konsumtif terhadap produk
bermerek, juga seringnya pergi keluar di malam hari menikmati dunia malam
seperti clubbing, nge-mall, jalan-jalan (hangout) atau nongkrong di kafe.
Budaya urban yang terjadi pada masyarakat, khususnya anak muda di Desa
Wironanggan, menyebabkan mereka bersifat kekotaan yang secara langsung maupun
tidak, terkait dengan urbanisasi. Urbanisasi merupakan perpindahan penduduk
dari desa ke kota. Fenomena urban pada hakikatnya terkait erat dengan persoalan
tradisi dan modernitas. Masyarakat urban identic dengan industrialisasi dan
konsumsi gaya hidup telah menyuburkan keberadaan “anggota masyarakat modern
khususnya anak muda” atau sosialita. Sosialita dalam artian fenomena gemerlap.
Perubahan gaya hidup terjadi akibat urbanisasi masyarakat dan globalisasi. Anak
muda yang pernah tinggal di kota dan kembali kedesanya membawa dampak perubahan
gaya hidup dilingkungan anak muda di desa. Zelinsky dan Lewis mengatakan
mobilitas penduduk memegang peranan penting dalam perubahan sosial budaya
dengan cara membawa masyarakat dari kehidupan tradisional ke suasana dan cara
hidup modern yang dibawa dari luar. Perubahan tersebut ternasuk pergeseran
nilai dan norma serta jaringan dan pola hubungan kekerabatan dipedesaan
(Haryono, 2010). Dari uraian tersebut muncul pertanyaan mengenai bagaimana
perubahan gaya hidup anak muda di Desa Wironanggan.
BAB II
ISI
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik rumusan
permasalahan sebagai berikut “Bagaimana perubahan gaya hidup anak muda di Desa
Wironanggan?”
Tujuan Penelitian
Sesuai
dengan masalah yang telah penulis kemukakan di atas, maka tujuan dari
penelitian yang hendak dicapai adalah untuk mengetahui bagaimana perubahan gaya
hidup anak muda di Desa Wironanggan.
Manfaat Penelitian
Seiring
dari tujuan yang telah dikemukakan di atas, adapun manfaat dari makalah ini yaitu
diharapkan dapat memberikan manfaat secara akademis dan sebagai tambahan
informasi serta referensi bagi pembaca.
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN
TEORI
Tinjauan terhadap Gaya
Hidup. Pembahasan ini menggunakan tinjauan teori gaya hidup. Gaya hidup berbeda
dengan cara hidup. Cara hidup ditampilkan dengan ciri-ciri seperti ritual, norma,
maupun pola tatanan sosial, sedangkan gaya hidup diekspresikan melalui apa yang
dikonsumsi serta bagaimana seseorang tersebut bersikap dan berhadapan dengan
orang lain. Menurut Chaney, gaya hidup merupakan pola-pola tindakan yang
membedakan satu orang dengan yang lainnya (Bagong, 2013). Gaya hidup merupakan sebuah
dunia modern. Siapapun yang hidup dalam masyarakat modern akan menggunakan
gagasan tentang gaya hidup untuk menggambarkan tindakannya sendiri. Istilah
gaya hidup merupakan salah satu istilah yang populer pada zaman sekarang.
Simbol-simbol modernism bisa teridentifikasi lewat persoalan gaya hidup.
Menurut Susanto (2003) gaya hidup adalah perpaduan antara kebutuhan ekspresi
diri dan harapan kelompok terhadap seseorang dalam bertindak berdasarkan pada
norma yang berlaku. Sedangkan menurut Kotler (2002), gaya hidup adalah pola
hidup seseorang di dunia yang diekspresikan dalam aktifitas, minat, dan
opininya. Gaya hidup menggambarkan “keseluruhan diri seseorang” dalam berinteraksi
dengan lingkungannya. Secara umum dapat diartikan bahwa gaya hidup dapat
dikenali dengan bagaimana orang menghabiskan waktunya (aktivitas), apa yang
penting untuk dipertimbangkan pada lingkungan (minat), dan apa yang seseorang pikirkan
tentang diri sendiri dan dunia di ekitar (opini). Gaya hidup juga sangat
berkaitan erat dengan perkembangan zaman dan teknologi. Semakin berkembangnya zaman
dan semakin canggihnya teknologi, maka semakin berkembang luas pula penerapan
gaya hidup oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari. Dalam arti lain, gaya
hidup dapat memberikan pengaruh positif atau negatif bagi yang menjalankannya. Persoalan
gaya hidup tidaklah sederhana seperti halnya potret kehidupan kelas menengah,
dan kelas atas. Urusan gaya hidup bukan pula monopoli orang-orang yang berduit maupun
orang kota saja. Sebenarnya orang-orang desa kelas bawahpun dapat memakai model
gaya hidup tertentu, contohnya dalam hal pakaian dan tempat nongkrong, meskipun
hanya sandiwara, meniru-niru atau berpura-pura. Gaya hidup kini bukan lagi
monopoli suatu kelas tertentu, tetapi sudah lintas kelas, di mana kelas atas,
menengah, dan bawah sudah bercampur-campur dan terkadang dipakai
berganti-ganti, hal ini contohnya yang sudah terjadi pada anak muda di Desa
Wironanggan. Berangkat dari pemikiran tokoh sosiologi Thorstain Veblen mengenai
lieissure class yang berarti waktu luang menjelaskan mengenai perilaku seseorang
dalam memanfaatkan waktu luang. Waktu luang tersebut didefinisikan sebagai hal
yang negatif yakni suatu kelas pemboros yang banyak mengeluarkan uang untuk
mewujudkan keinginannya untuk memenuhi waktu luang. Dalam hubungan gaya hidup waktu
dan uang merupakan bagian dari seseorang. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan
status sosial baik sadar maupun tidak. Faktor-faktor gaya hidup yang dijelaskan
oleh Bourdieu meliputi faktor internal yang berupa sikap, pengalaman,
kepribadian, konsep diri, motif dan persepsi. Sedangkan factor eksternal
meliputi referensi, keluarga, kelas sosial, dan kebudayaan. Landasan Teori Pada
hakikatnya, teori adalah rumusan yang berisikan prinsip umum, membuat asumsi,
meramalkan serta menjelaskan suatu gejala atau masalah yang untuk sebagian atau
keseluruhan telah dibuktikan kebenarannya (Nazir, 1998: 21). Dalam penelitian
ini, penulis menggunakan beberapa teori untuk membedah masalah penelitian agar diperoleh
data yang bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan.
1.
Teori Modernisasi
Jika mengkaji tentang
gaya hidup, maka teori modernisasi merupakan teori yang paling dominan menentukan
perubahan gaya hidup. Ada dua teori besar yang mempengaruhi teori modernisasi, yaitu
teori evolusi dan teori fungsional. Asumsi teori modernisasi merupakan hasil
dari konsep metafora teori evolusi. Menurut teoriteori evolusi, perubahan social
bersifat linear, terus maju dan perlahan, yang membawa masyarakat berubah dari
tahapan primitif menuju ke tahapan yang lebih maju. Berdasarkan asumsi
tersebut, maka para teoretikus perspektif modernisasi membuat kerangka teori
sebagai berikut: Pertama, modernisasi merupakan proses bertahap. Teori Rostow
tentang tinggal landas membedakan berbagai fase pertumbuhan ekonomi yang hendak
dicapai oleh masyarakat, diawali dengan masa primitif dan sederhana menuju
masyarakat menuju dan berakhir pada tatanan yang maju dan kompleks.
Kedua, modernisasi
merupakan proses homogenisasi. Tidak terbantahkan bahwa proses modernisasi
merupakan sebuah proses yang menuntut kesamaan dan kemiripan, di mana hal ini
menjadi indikator bahwa proses pembangunan dikatakan berhasil. Proses homogenisasi
ini terjadi dalam beberapa tingkat, yang pertama homogenisasi internal, yaitu homogenisasi
yang terjadi di dalam negara. Artinya, di antara masyakarat sudah tidak terjadi
ketimpangan ekonomi dan sosial. Yang kedua adalah homogenisasi eksternal yaitu kemiripan
dan kesamaan antara negara maju dan Negara berkembang. Watak homogenisasi ini merupakan
salah satu target para pemikir teori modernisasi untuk melaksanakan pembangunan
secara efektif.
Ketiga, modernisasi
merupakan proses Eropanisasi dan Amerikanisasi atau yang lebih popular bahwa modernisasi
itu sama dengen barat. Hal ini terlihat bahwa keberhasilan itu merupakan
sesuatu yang bersifat barat. Negara barat merupakan negara yang tak tertandingi
dalam kesejahteraan ekonomi dan politik. Dan negara maju ini dijadikan mentor bagi
negara berkembang. Dalam hal yang lebih nyata, kebijakan industrialisasi dan
pembangunan ekonomi sepenuhnya mencontoh hal-hal yang dilakukan negara maju
tanpa memperhatikan faktor budaya dan sejarah lokal negara berkembang. Keempat,
modernisasi merupakan proses yang tidak mundur. Proses modernisasi merupakan
proses yang tidak bisa dihentikan ketika sudah mulai berjalan. Dengan kata lain
ketika sudah melakukan kontak dengan negara maju maka dunia ketiga tidak mampu
menolak proses selanjutnya. Kelima, modernisasi merupakan perubahan progesif.
Hal ini memang diterima oleh para pemikir pembangunan, namun demikian efek samping
dari proses ini merupakan suatu proses yang memakan banyak korban yang secara
sosial tentu saja berbiaya mahal. Keenam, modernisasi memerlukan waktu panjang.
Karena modernisasi merupakan proses evolusioner, sehingga perubahan yang dapat
dlihat juga tidak serta merta cepat. Dengan demikian, dibutuhkan waktu yang
lama untuk melihat perubahan yang dialami, bahkan proses yang dijalankan modernisasi,
termasuk akibat yang dialami proses modernisasi.
2.
Teori Hegemoni
Istilah hegemoni
berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu “eugemonia”. Sebagaimana yang dikemukakan
ensiklopedia Britanica, dalam prakteknya di Yunani,eugemonia diterapkan untuk menunjukkan
dominasi posisi yang diklaim oleh negara-negara kota (polism atau citystates)
secara individual misalnya yang dilakukan oleh Athena dan Sparta terhadap negara-negara
yang sejajar. Teori hegemoni yang dicetuskanoleh Gramsci adalah “sebuah pandangan
hidup dan cara berpikir yang dominan, yang didalamnya sebuah konsep tentang
kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan;
(ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip
religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam
makna intelektual dan moral. Berdasarkan pemikiran Gramsci tersebut dapat
dijelaskan bahwa hegemoni merupakan suatu kekuasaan atau dominasi atas nilai nilai
kehidupan, norma, maupun kebudayaan sekelompok masyarakat yang akhirnya berubah
menjadi doktrin terhadap kelompok masyarakat lainnya dimana kelompok yang
didominasi oleh kelompok lain (penguasa) tidak merasa ditindas dan merasa itu
sebagai hal yang seharusnya terjadi. Dengan demikian mekanisme penguasaan
masyarakat dominan dapat dijelaskan sebagai berikut: kelas dominan melakukan penguasaan
kepada kelas bawah menggunakan ideologi. Masyarakat kelas dominan merekayasa kesadaran
masyarakat kelas bawah sehingga tanpa disadari, mereka rela dan mendukung kelas
dominan.
PEMBAHASAN
Lokasi Penelitian
Penelitian ini
dilakukan di Desa Wironanggan, Sukoharjo. Sekitar 12km dari pusat kota Solo,
6km ke arah
Selatan dari Bandara
Adi Sumarmo Solo. Desa Wironanggan merupakan desa yang tidak begitu besar,
tetapi banyak anak muda yang sudah banyak terpengaruh akibat budaya
globalisasi. Perubahan Gaya Hidup Anak Muda Desa Wironanggan Gaya hidup
seseorang tidak hanya ditentukan dari pribadi masing-masing, tetapi juga
ditentukan oleh lingkungan tempat tinggal. Pengaruh globalisasi merubah gaya
hidup anak muda di Desa Wironanggan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa
terdapat perubahan yang dialami oleh anak muda di Desa Wironanggan. Perubahan
tidak hanya dalam hal yang konsumtif terhadap produk bermerek saja. Anak muda
juga menyukai berwisata kuliner, mencoba makanan dan minuman baru yang ada di kota.
Budaya “kongkow” dapat disebut dengan “nongkrong” untuk membicarakan topik
resmi maupun tidak di suatu tempat seperti kafe juga dilakukan oleh anak-anak
muda di Desa Wironanggan, yang sering meluangkan waktu untuk datang ke sana.
Informan mengatakan jika ingin melepas penat sering kali anak-anak muda pergi
ke kafe untuk sekedar nongkrong atau minum kopi. Informan juga mengatakan kebiasaan
anak-anak muda yang dulunya hanya berdiam diri di rumah, kini beralih pada
kebiasaan nongkrong. Kebiasaan nongkrong tidak hanya dilakukan pada siang hari,
tetapi juga sering dilakukan pada malam hari. Kondisi demikian yang memicu anak
muda untuk ikut ke dalam dunia malam. Tempat yang sering dikunjungi anak muda
di Desa Wironanggan ini antara lain adalah Starbuck, kafe, tempat makan seperti
KFC, tempat karaoke, hingga “angkringan” pinggir jalan. Bagi anak muda yang
memiliki uang, lebih sering menghabiskan waktu di KFC, kafe, Starbuck atau
bahkan di tempat karaoke. Tetapi ada pula yang hanya nongkrong di “angkringan”
atau warung kopi pinggir jalan. Warung kopi dianggap lebih murah dibandingkan
dengan kafe. Sudah menjadi gaya hidup di kalangan anak muda, selain sebagai aktivitas
untuk membuang lelah, banyak diantaranya mengikuti orang-orang disekitarnya.
Dijelaskan bahwa orang yang mengkonsumsi atau membeli kopi di Starbuck akan
lebih bergaya dibandingkan minum kopi di pinggir jalan (Bagong Suyanto, 2013). Kondisi
yang terjadi pada anak muda ini dalam kajian pemikiran Thorstain Veblen
menjelaskan bahwa perilaku seseorang berubah sesuai dengan keinginan untuk
memenuhi waktu luangnya. Anak muda dengan mengisi waktu luang merupakan sebuah kepuasan
karena dapat memberikan pengaruh bagi individu yang terkait. Mengikuti pola
kebiasaan teman yang berada di lingkungan sekitarnya dapat meningkatkan status
sosialnya seperti banyak teman, tidak ketinggalan dari mode dan budaya baru. Selain
kehidupan sosial, bahasa dan karakter juga mengalami pergeseran. Anak muda yang
ada didesa sudah terpengaruh dengan logat bahasa yang ada di kota. Anak muda
didesa sudah banyak mengenal bahasabahasa gaul yang ada di kota yang dahulu
belum pernah ada di lingkungan desa, contohnya “OK Bro, Kepo, dan lain-lain.
Penggunaan bahasa tersebut sering digunakan ketika bercanda ataupun ketika
nongkrong dengan teman-teman. Setiap obrolan ketika keluar malam, kata tersebut
selalu terucap disela canda tawa. Pada awalnya hanya mendengar saat berbincang
dengan teman lingkungan sekitar namun karena keterbiasaan bahasa tersebut
menjadi konsumsi bagi anak muda di desa. Tempat nongkrong menjadi salah satu
tempat pertama anak muda mengenal kata tersebut. Perubahan terjadi pada awal
anak muda pergi ke kota. Dari situ timbul keinginan untuk mengetahui isi kota
baik kehidupan sosial maupun kehidupan malam. Hal ini yang mendorong anak muda
ingin merasakan suasana yang baru. Kehidupan malam, nongkrong, nge-mall telah
menjadi budaya baru bagi anak muda di desa. Akibat dari perubahan gaya hidup
yang konsumtif seperti “nongkrong” di tempat-tempat angkringan maupun kafe akan
menghabiskan uang bulanan yang cukup banyak. Faktor yang mempengaruhi perubahan
gaya hidup anak muda di desa berasal dari lingkungan. Selain faktor eksternal
yang berupa lingkungan dan teman, faktor lain juga dari individu sendiri.
Setiap individu memiliki rasa ingin tahu tentang suatu hal. Bourdieu dalam
kajian tentang gaya hidup menjelaskan bahwa terdapat factor internal dan faktor
eksternal yang mempengaruhi perubahan gaya hidup seseorang. Faktor internal
berupa sikap. Dijelaskan bahwa sikap seseorang menunjukkan tanggapan terhadap kondisi
lingkungan sekitarnya. Anak muda selalu ingin mengetahui apa yang ada di
lingkungannya, dari pengamatan tersebut memberikan dampak pada pola pemikirannya.
Perilaku gaya hidup yang berubah merupakan kebutuhan untuk meningkatkan
prestise pada lingkungannya. Timbulnya persepsi mengenai gaya hidup bahwa jika
tidak mengenal mode dan gaya akan ketinggalan jaman. Faktor eksternalnya adalah
kelas sosial dan kebudayaan. Anak muda melihat kelas sosial di antara teman
sebayanya. Persepsi bahwa tidak mengikuti gaya yang ada akan dikucilkan, maka
kondisi demikianlah yang menjadikan pengaruh besar bagi anak muda untuk merubah
gaya hidupnya.
PENUTUP
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa
perubahan yang terjadi pada anak muda di Desa Wironanggan adalah gaya hidup yang
meliputi cara berpakaian yang cenderung memilih produk bermerek, kebiasaan
nongkrong, dan gaya bahasa yang cenderung menggunakan logat kota dan
menggunakan bahasa gaul. Kondisi demikian terjadi karena proses pergeseran
budaya dari daerah yang cenderung menjadi budaya kota yang identik dengan
kehidupan mall dan nongkrong, sehingga bukan hanya cara berpakaian yang
berubah, namun pola kebiasaan anak muda di desa juga mengalami perubahan. Bordieau
dalam kajian tentang gaya hidup menjelaskan bahwa terdapat factor internal dan
faktor eksternal yang mempengaruhi perubahan gaya hidup seseorang. Faktor yang
mempengaruhi perubahan gaya hidup pada anak muda di desa adalah lingkungan dan
temanteman sebayanya. Selain faktor eksternal berupa lingkungan dan teman,
faktor lain juga dari individu sendiri. Setiap individu memiliki rasa ingin
tahu tentang suatu hal.
Saran
Meskipun budaya modern
sudah masuk di lingkungan pedesaan, diharapkan gaya hidup anak muda di desa
tidak terlalu jauh mengikuti perkembangan gaya hidup anak kota. Karena tidak
semua semua gaya hidup dari kota baik untuk diadopsi. Hal ini bertujuan supaya
gaya hidup di lingkungan desa tetap terjaga serta rasa kekeluargaan antar
sesama semakin kuat, tidak tercipta suatu sikap yang menonjolkan indiviualisme
seperti yang ada di kota.
DAFTAR
PUSTAKA
Corner, John and
Harvey, Sylvia. Enterprise and Heritage. Crosscurrent of National Culture.
Haryono, S. Joko Tri
2010. Dampak Urbanisasi Terhadap Masyarakat di Daerah Asal
(Online),
(http://mkp.fisip.unair.ac.id/index.php?option=om
content&view=article&id=172:-dampak urbanisasi-terhadap-masyarakat-didaerah&catid=34:mkp&itemid=62).
Diakses (28 Maret 2015)
Pearce, Douglas,
Tourism Development, Long Man Scientific and Technical, New York, 1989.
Pendit I Nyoman. 1994.
Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta: Pradnya Paramita Perpres
39/2005. Kebijakan Pembangunan Pariwisata dan Kebudayaan. Jakarta: Dinas
Pariwisata dan
Kebudayaan
Suyanto, Bagong. 2013.
Sosiologi Ekonomi Kapitalisme dan Konsumsi di Era Masyarakat
Post-Modernisme.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Wiendu Nuryanti. 1993.
Pariwisata Budaya. Yogyakarta: Penerbit Andi
https://sosiologibudaya.wordpress.com/2011/05/18/gaya-hidup/
(diakses 28 Maret 2015)
http://abrahamistic.blogspot.com/2014_03_01_archive.html
(diakses 29 Maret 2015)
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=5&ved=0ahUKEwiV7I2yqZnVAhUDKpQKHcHmAy8QFgg-MAQ&url=http%3A%2F%2Fjurnal.stpss.ac.id%2Findex.php%2FJPI%2Farticle%2Fdownload%2F70%2F58&usg=AFQjCNGis4mAJHBwpFOpjPPh0zRIIY8jPg