Rabu, 23 Agustus 2017

ilmu budaya dasar : tugas 4 (KEMISKINAN SEBAGAI MASALAH SOSIAL & BUDAYA DI INDONESIA)

KEMISKINAN SEBAGAI MASALAH SOSIAL & BUDAYA DI INDONESIA


   



Disusun Oleh :

Nama : Listya witri

Kelas : 1IA20

NPM : 54416078




















 PENDAHULUAN


Indonesia merupakan negara yang mempunyai penduduk sangat padat terutama di kota-kota besar. Dengan jumlah penduduk yang sangat padat tersebut, membuat Indonesia banyak mengalami masalah sosial. Menurut Soerjono Soekanto masalah sosial adalah suatu ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Jika terjadi bentrokan antara unsur-unsur yang ada dapat menimbulkan gangguan hubungan sosial seperti kegoyahan dalam kehidupan kelompok atau masyarakat. Masalah sosial muncul akibat terjadinya perbedaan yang mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan realita yang ada. Yang dapat menjadi sumber masalah sosial yaitu seperti proses sosial dan bencana alam. Adanya masalah sosial dalam masyarakat ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan khusus seperti tokoh masyarakat, pemerintah, organisasi sosial, musyawarah masyarakat, dan lain sebagainya.
Masalah sosial dapat dikategorikan menjadi 4 (empat) jenis faktor, yakni antara lain :

1. Faktor Ekonomi : Kemiskinan, pengangguran, dll.
2. Faktor Budaya : Perceraian, kenakalan remaja, dll.
3. Faktor Biologis : Penyakit menular, keracunan makanan, dsb.
4. Faktor Psikologis : penyakit syaraf, aliran sesat, dsb.

Pada kesempatan ini, saya akan membahas salah satu masalah sosial yang diakibatkan oleh faktor ekonomi, yaitu kemiskinan. Kemiskinan adalah suatu keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian , tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat pemenuh kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan. Kemiskinan juga merupakan masalah global, sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan.
Kemiskinan saat ini memang merupakan suatu kendala dalam masyarakat ataupun dalam rung lingkup yang lebih luas. Kemiskinan menjadi masalah sosial karena ketika kemiskinan mulai merabah atau bertambah banyak maka angka kriminalitas yang ada akan meningkat. Banyak orang saat ini menerjemahkan kemiskinan sebagai pangkal penyebab masalah sosial dan ekonomi. Kini kemiskinan menjadi masalah sosial ketika stratifikasi dalm masyarakat sudah menciptakan tingkatan atau garis-garis pembatas. sehingga adanya kejanggalan atau batas pemisah dalam interaksi atau komunikasi antara orang yang berada di tingkatan yang dibawah dan di atasnya.

Kemiskinan juga sangat berpengaruh terhadap lingkungan hidup yang akhirnya akan merusak lingkungan itu sendiri. Penduduk miskin yang terdesak akan mencari lahan-lahan kritis atau lahan-lahan konservasi sebagai tempat pemukiman. Lahan-lahan yang seharusnya berfungsi sebagai kawasan penyangga atau mempunyai fungsi konservasi tersebut akan kehilangan fungsi lingkungannya setelah dimanfaatkan untuk kawasan pemukiman. Akibat berikutnya, maka akan menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan lingkungan.
Selain itu, penduduk miskin pun akan sulit dalam hal mencari lapangan pekerjaan, penduduk miskin tanpa mata pencaharian akan memanfaatkan lingkungan sekitar, sebagai usaha dalam memenuhi kebutuhannya tanpa mempertimbangkan kaidah-kaidah ekologis yang berlaku. Karena desakan ekonomi, banyak penduduk yang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memasuki kawasan-kawasan yang sebenarnya dilindungi, apabila tidak dicegah dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama menyebabkan kawasan lindung akan berkurang bahkan hilang sama sekali, yang berdampak pada hilangnya fungsi lingkungan (sebagai pemberi jasa lingkungan). Selain itu menyebabkan tindakan kriminal yang menyebabkan permasalahan baru dalam hal masalah sosial.
Dengan pergantian kepemimpinan pun juga tak mampu menekan jumlah masyarakat miskin. Bukannya masyarakat miskin yang terus berkurang malah isu-isu ketimpangan sosial yang justru muncul kepermukaan tak memandang itu di perkotaan maupun di pedesaan. Dewasa ini penggalakan program pemerintah dalam mengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat terus dilaksanakan, dengan demikian pemberian bantuan kesetiap kecamatan berupa kucuran dana guna mendukung perencanaan masyarakat dalam pengembangan daerahnya dan juga program pemerintah berupa pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan di perkotaan. Hal ini belum mampu mengangkat masyarakat marginal dan terpinggirkan dari garis kemiskinan. Dapat pula kemiskinan di sekitar kita telah menjadi bagian dari mentalitas masyarakat sehingga setiap individu akhirnya merasa nyaman dengan hidupnya meskipun bila dilihat secara kasat mata justru kehidupan mereka di pandang tidak layak, dapat pula kemiskinan itu terbentuk dengan eksploitasi kelas sosial di atasnya.
Ketidakmampuan pemerintah dalam mengentaskan masalah ini di perparah dengan di terbitkannya aturan yang melarang orang miskin seperti misalnya pelarangan menggelandang, mengemis, mengamen dan pekerjaan orang miskin lainnya di tambah dengan aturan memberikan sanksi bagi orang yang memberikan sumbagan kepada orang-orang yang menjalani profesi seperti yang di sebutkan diatas. Dimana ruh dan jiwa mulia undang-undang pasal 34 mengenai orang miskin di negara ini di letakkan yang berbunyi “fakir miskin dan anak terlantar di pelihara oleh negara” Di masyarakat Indonesia jumlah rakyat miskin yang tak juga semakin rendah tentunya akan banyak di temui fenomena seperti ini. Masyarakat yang plural dan heterogoen bukan merupakan suatu dukungan yang baik untuk membantu dalam mengentaskan kemiskinan. Untuk membahas masalah kemiskinan perlu di identifikasi apa sebenarnya yang di maksud dengan miskin atau kemiskinan dan bagaimana mengukurnya.






Konsep yang berbeda akan melahirkan cara pengukuran yang berbeda pula, setelah itu di cari faktor-faktor dominan baik sifatnya kultural maupun struktural yang menyebabkan kemiskinan terjadi dan yang terakhir adalah mencari solusi yang relevan dari permasalahan itu. Seperti apa yang dikemukakan Soerjono Soekanto tentang peran sosiologi dalam melihat kemiskinan yaitu sosiologi menyeidiki persoalan-persoalan umum pada masyarakat dengan maksud menemukan dan menafsirkan kenyataan-kenyataan kehidupan bermasyarakat sedangkan usaha-usaha perbaikannya merupakan bahagian dari pekerjaan sosial.

Masyarakat miskin cenderung disingkirkan karena selalu dituduh sebagai penghambat pembangunan dan kemajuan. Tidak semua pembangunan fisik dan spiritual memperhatikan kepentingan masyarakat. Akibatnya, tujuan pembangunan nasional untuk menciptakan atau mencapai masyarakat adil dan makmur sesuai nilai-nilai luhur yang terkandung dalam pembukaan UUD 45, hanya terwujud pada sebagian masyarakat atau kolompok yang dekat dengan pusat kekuasaan tingkat pusat sampai di pelosok-pelosok negeri. Dan paradoksnya adalah, di sana-sini, tercipta komunitas masyarakat tersisih dan tertinggal karena korban pembangunan sebagai si miskin. Menelusuri kemiskinan merupakan sesuatu yang cukup kompleks, ada beberapa catatan yang bisa menjadi acuan tentang kemiskinan terutama di Indonesia, yaitu:

1. Adanya kemiskinan karena angka kelahiran yang tinggi

Kelompok masyarakat yang tidak maju lebih sering dan cenderung disebut kaum miskin yang sarat dengan kemiskinan. Kemiskinan ini juga selalu mengalami pertumbuhan dengan pesat atau bertambah banyak jumlahnya terutama karena angka kelahiran yang tingi. Angka kelahiran kaum miskin di negara-negara dunia ketiga termasuk pada wilayah-wilayah tertentu di Indonesia yang tinggi, pada konteks tertentu, tidak seimbang dengan tingkat kematian. Pertumbuhan kemiskinan yang sangat pesat ini terjadi hampir semua lokasi atau tempat mereka berada. Dengan demikian, pada umumnya mereka k hampir tidak mempunyai apa-apa selain anak; karena mereka tidak banyak berbuat apa-apa, selain prokreasi dan reproduksi.

2. Mereka tetap miskin karena menutup diri dari pengaruh luar

Tatanan serta keteraturan suatu komunitas masyarakat di suatu daerah merupakan warisan secara turun-temurun. Dan jika komunitas itu mempunyai kontak dengan yang lain, maka akan terjadi saling meniru kemudian masing-masing mengembangkan hasil tiruan itu sesuai dengan situasi dan kondisinya. Dengan itu, dapat dipahami bahwa hubungan sosial antar manusia, dan antar masyarakat bersifat mempengaruhi satu sama lain. Namun, tidak menutup kemungkinan, walau terjadi interaksi, ada kelompok atau komunitas yang tidak mengembangkan diri, sehingga tetap berada pola-pola hidup dan kehidupan statis. Akibatnya, mereka tidak mengalami kemajuan yang berarti sehingga mereka tetap dalam keberadaanya yaitu kemiskinan.

3. Mereka tercipta karena korban ketidakadilan para pengusaha

Kemajuan sebagian masyarakat global termasuk Indonesia yang mencapai era teknologi dan industri ternyata tidak bisa menjadi gerbong penarik untuk menarik sesamanya agar mencapai kesetaraan. Para pengusaha teknologi dan industri tetap membutuhkan kaum miskin yang pendidikannya terbatas untuk dipekerjakan sebagai buruh. Dan dengan itu, karena alasan kurang pendidikan, mereka dibayar di bawah standar atau sangat rendah, serta umumnya, tanpa tunjangan kesehatan, transportasi, uang makan, dan lain sebagianya.
Para buruh tersebut harus menerima keadaan itu karena membutuhkan nasi dan pakaian untuk bertahan hidup. Akibatnya, menjadikan mereka tidak mampu meningkatkan kualitas hidupnya. Secara langsung, mereka telah menjadi korban ketidakadilan para pengusaha konglomerat hitam yang sekaligus sebagai penindas sesama manusia dan pencipta langgengnya kemiskinan. Para buruh laki-laki dan perempuan harus menderita karena bekerja selama 12 jam per hari bahkan lebih, walau upahnya tak memadai. Kondisi buruk yang dialami oleh para buruh tersebut juga membuat dirinya semakin terpuruk di tengah lingkungan sosial kemajuan di sekitarnya terutama para buruh migran pada wilayah metropolitan.
Sistem kerja yang hanya mengutamakan keuntungan majikan, telah memaksa para buruh untuk bekerja demikian keras. Sehingga kehidupan yang standar, wajar dan normal, yang seharusnya dialami oleh para buruh, tidak lagi dinikmati oleh mereka. Fisik dan mental para buruh yang giat bekerja tetapi tetap miskin, telah dipaksa menjadi bagian dari instrumen mekanis. Mereka dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan irama, kecepatan dan ritme mesin-mesin pabrik dan ritme bising mesin otomotif; mesin-mesin itu, memberikan perubahan dan keuntungan pada pemiliknya, namun sang buruh tetap berada pada kondisi kemiskinan. Dengan tuntutan itu, mereka tak memiliki kebebasan, kecuali hanya untuk melakukan aktivitas pokok makhluk hidup [makan, minum, tidur], di sekitar mesin-mesin yang menjadi tanggungjawabnya.

4.Mereka tetap ada karena adanya pembiaran-pembiaran yang dilakukan oleh penguasa dan pengusaha.

Situasi dan kondisi kehidupan komunitas masyarakat [mereka yang tersisih dan tertinggal] miskin diperparah lagi dengan tanpa kesempatan memperoleh pendidikan, tingkat kesehatan rendah, serta berbagai keterbatasan dan ketidakmampuan lainnya. Mereka ada di mana-mana, pada daerah terpencil, di tepi-tepi pantai, pinggiran kali dan rel kereta api, bahkan wilayah-wilayah atau daerah-daerah kumuh di perkotaan. Kompleksitas masyarakat miskin seperti itu, sengaja dibiarkan begitu saja oleh para penguasa dan pengusaha agar tetap terjadi suatu ketergantungan. Jika ada bencana alam, mereka dibutuhkan agar bisa melakukan charity advertenrial, atau tindakan bantuan sosial yang mengandung nilai iklan bahwa sang pemberi bantuan sebagai orang baik hati serta mempunyai kepedulian kepada kaum miskin [misalnya, jika terjadi bencana [tsunami, banjir, gempa bumi, tanah longsor, kebakaran].Perhatian kepada kaum miskin yang hanya berupa charity advertenrial ini, bisa dan biasa dilakukan oleh pejabat, penguasa, tokoh agama, politik, artis, dan lain sebagainya. Dengan itu menghasilkan kaum miskin yang tetap menengadah tangan untuk meminta belaskasihan akibat penderitaannya. Mereka memeriksa kesehatan jika ada bhakti sosial kesehatan; makan dengan nilai gizi baik karena ada bantuan serta droping pangan, dan seterusnya.
Mereka dihitung, jika tiba saat membutuhkan dukungan suara agar menjadi pemimpin daerah ataupun anggota legislatif. Mereka diperlukan, jika ingin melakukan demonstrasi [plus kerusuhan] melawan pemerintah. Bahkan, jumlah mereka dikurangi karena salah satu ukuran keberhasilan pemerintah adalah berkurangnya masyarakat atau orang miskin. Ataupun, jumlah mereka ditambah karena dipakai oleh kaum oposan [kaum oposisi yang dimaksud adalah orang-orang di luar lingkaran pemerintah] sebagai salah satu tolok ukur ketidakberhasilan serta ketidakbecusan pemerintah mengelola negara.


Sementara itu, andil penguasa wilayah dan nasional [yang sering berkonspirasi dengan pengusaha hitam] untuk meningkatkan pertumbuhan masyarakat miskin pun cukup besar. Berbagai rekayasa jahat, pengusaha [konglomerat hitam] memakai tangan-tangan kotor penguasa untuk membebaskan lahan [dengan alasan pembangunan fasilitas umum] dengan nilai harga di bawah standar. Lahan atau persil dengan mudah berpindah kepemilikan [kepada para penguasa hitam dan jahat], karena pemiliknya [biasanya mereka adalah penduduk asli yang kurang pendidikan] tergiur sejumlah rupiah. Namun, karena ketidakmampuan memanagekeuangan, dalam tempo tidak terlalu lama mereka menjadi kaum miskin baru [walau sesaat yang lalu mereka adalah orang kaya baru karena menjual tanah].
Seringkali penguasa dengan slogan politis memerangi kemiskinan, maka siapapun yang mengganggu stabilitas sosial, ekonomi, politik dan keamanan serta pembangunan [akan] dianggap sebagai musuh. Karena itu banyak tanah milik komunitas suku bangsa yang tiba-tiba diperlukan area perkebunan, bandara, lapangan golf, pabrik, dan lain-lain. Ketika mereka [pemilik tanah] mempertahankan kepemilikannya, mereka dianggap sebagai penghambat pembangunan. Demikian juga, penyingkiran terhadap masyarakat, jika wilayah atau di alam bumi pada lokasi tempat tinggal mereka mengandung mineral atau barang tambang lainnya. Banyak masyarakat yang bermukim di tempat yang dianggap salah karena desanya lebih menguntungkan untuk dibangun waduk raksasa. Demikian pula ada masyarakat yang tiba-tiba harus menerima nasib untuk dipindahkan dari wilayah permukimannya, karena tanah mereka lebih cocok untuk proyek [mercu suar] pembangunan, serta tempat latihan perang. Dan tidak sedikit masyarakat kota tadinya berkecukupan tersingkir ke wilayah pinggiran dengan kemiskinan. Bahkan tidak sedikit yang akhirnya menjadi kaum urban yang mengemis serta mengais-ngais sampah di metropolitan untuk mempertahankan hidupnya.
Di sini, jelas bahwa adanya kaum miskin bukan semata-mata karena sebagai paradoks pembangunan, tetapi juga karena pembiaran-pembiaran pengusaha dan penguasa terhadap keberadaan mereka agar sewaktu-waktu dapat dipakai atau difungsikan sebagai salah satu alat untuk mencapai kedudukan, ketenaran, kekuasaan, serta rencana kejahatan yang tersembunyi.

5. Mereka menjadi miskin karena manajemen keluarga yang buruk

Pada umumnya, pada masyarakat [kota dan desa] ada orang-orang yang dikategorikan sebagai orang kaya. Dalam arti mereka mempunyai beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan lainnya. Pada masyarakat desa, kelebihan mereka yang disebut orang kaya antara lain mempunyai beberapa persil tanah, lebih dari satu bidang sawah serta ladang, memiliki puluhan atau ratusan ekor ternak, bahkan mempunyai lebih dari satu isteri. Sedangkan pada masyarakat perkotaan, mereka mempunyai lebih dari satu rumah dan mobil, tabungan dan deposito, pekerjaan yang mapan, dan lain-lain.

Walau mungkin tidak bisa menjadi acuan, penilaian tentang ciri-ciri orang kaya seperti itu, sudah menjadi pandangan umum dalam masyarakat. Namun, sejalan dengan perubahan waktu, keturunan [pada umumnya generasi ketiga dan keempat] orang-orang yang tadinya kaya tersebut ternyata menjadi miskin. Masyarakat atau orang lain yang mengenalnya hanya bisa bercerita dan mengenang orang tua atau kakek dan nenek mereka yang kaya raya.



Hal tersebut terjadi karena keluarga-keluarga kaya itu salah memanage keuangan ataupun harta bendanya. Bisa saja terjadi, anak-anak orang kaya [karena mengandalkan kekayaannya] tidak mau menata diri dengan pendidikan yang baik, akibatnya mereka menjadi orang kaya yang bodoh. Dalam sikon kebodohan itu, mereka tidak mampu mengelola hartanya dengan baik dan benar. Mereka hanya bisa menjual harta benda untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kehidupan. Akibatnya dalam kurun waktu tertentu harta benda mereka habis, sehingga lambat laun mereka menjadi miskin.
Jadi, sangat jelas bahwa tidak ada seorang pun yang diciptakan TUHAN [ini jika kita mengakui bahwa manusia diciptakan TUHAN Allah, bukan karena proses evolusi] dalam keadaan melarat atau bergelimang dengan kemiskinan. Dan dengan itu, [menurut saya] juga tidak ada seorang pun bercita-cita atau berkeinginan untuk menikmati hidup dan kehidupan penuh kemiskinan. Akan tetapi, dalam kenyataanya, kemiskinan itu ada di sekitar komunitas serta terdapat pada banyak tempat. Kemiskinan ada di mana-mana, ia tidak mengenal ras maupun budaya.

Secara sosiologis dan teologis, kemiskinan muncul karena kompleksitas carut marut sikap manusia terhadap sesamanya; muncul karena diciptakan oleh manusia; berkembang seiring dengan pertumbuhan masyarakat; akibat tindakan kriminal [kejahatan dan semua bentuk-bentuknya] terhadap sesama manusia; semakin berkembang akibat peperangan [antar bangsa, suku, komunitas agama], genocide, sentimen agama, tekanan politik, penindasan fisik serta psikologis terhadap orang lain. Juga, kemiskinan bisa ada karena perencanaan terstruktur suatu kelompok masyarakat tertentu [yang lebih kuat, mayoritas] kepada yang lain. Dengan demikian, orang kaya dan orang miskin, kemiskinan dan kekayaan, bagaikan dua sisi mata uang; tetapi sekaligus terdapat jurang pemisah dan saling tidak peduli satu sama lain.
Dengan demikian, dampak dari kemiskinan menyangkut semua aspek hidup dan kehidupan [yang utuh] seseorang, sekaligus menembus lingkungan tatanan sosial masyarakat dan bangsa.

Memang, pada satu sisi, di beberapa tempat [karena alasan-alasan keagamaan dan budaya], ada kaum miskin yang nrimo keadaannya karena bersifat fatalistik atau terima nasib semuanya itu sebagai kehendak ilahi; Sang Ilahi lah yang menghendaki mereka miskin serta bergelut dengan kemiskinan; bagi mereka kemiskinan serta sikon serba kekurangan adalah cobaan Tuhan. Akan tetapi, di sisi lain, kemiskinan berdampak pada berbagai ketidakmampuan, sehingga kaum miskin syarat dengan hal-hal berikut:
A. gizi buruk, tingkat kesehatan rendah, mudah terjangkit bermacam-macam penyakit, terutama penyakit kulit seperti kudis, panu, kusta, dan lain-lain.

B. tingkat pendidikan rendah atau hanya mencapai sekolah dasar, bahkan ada yang sama sekali tidak bersekolah.

C. kecenderungan berperilaku anti sosial dan kemapanan, agresif-impulsif, seks bebas, penyalahgunaan berbagai zat dan obat terlarang.

D. mempunyai rentan untuk diajak melakukan berbagai tindakan kriminal, kekerasan sosial, demontrasi [dengan imbalan sejumlah uang].

E. membangun tempat tinggal di pinggir rel kereta api, bantaran sungai, kolong jembatan, sekitar tempat pembuangan sampah, serta di tempat kumuh.

F. menjadi kaum urban di kota-kota yang relatif lebih maju; kemudian menjadi kaum miskin kota yang bertahan hidup dengan mengemis.

G. mudah menelantarkan anggota keluarga [terutama anak-anak]; anak-anak dari orang tua yang miskin, cenderung bersikap kasar kepada anak-anaknya; untuk menghindar perlakuan buruk itu, anak-anak tersebut bergerombol di perapatan jalan, pasar, pusat pertokoan, terminal bus dan tempat keramaian lainnya yang memungkinkan mereka mendapatkan uang.

H. berkerja serabutan untuk sekedar mendapat makanan agar bertahan hidup; bahkan menjadi pelacur [perempuan] dan gigolo [laki-laki].


Maka seluruh umat manusia [keseluruhan masyarakat] juga bertanggung jawab untuk memerangi dan mengentaskan kemiskinan. Upaya mengentaskan kemiskinan tidak bisa dilepaskan kepada kelompok tertentu dalam masyarakat ataupun pemerintah, karena merupakan masalah bersama dan membutuhkan penanganan yang holistik. Oleh sebab itu, perlu suatu etikad baik [yang berlandaskan kasih dan keadilan, sesuai yang diajarkan dalam agama-agama] pada diri semua orang bahwa dirinya ikut bertanggungjawab secara langsung maupun tidak agar sesamanya bebas dari kemiskinan.
Ini merupakan tugas dan panggilan ilahi kepada semua umat manusia; sekaligus mempunyai nilai luhur serta mulia yang mengkesampingkan egoistik serta kepentingan diri sendiri. Pada masa ini, sesuai dengan konteks kekinian, hidup dan kehidupan manusia setiap hari merupakan suatu interaksi saling kait-mengait satu sama lain. Suatu perubahan pada seseorang [sekecil apapun] akan berdampak pada yang lain. Dengan itu, jika sikon kaum miskin berubah jadi sejahtera, maka orang-orang di sekitarnya pun bisa merasakan dampaknya. Sebaliknya, jika masyarakat mampu, mempunyai etikad baik untuk memerangi kemiskinan, maka dampaknya akan dirasakan oleh orang-orang miskin. Jadi, semuanya terkena dampak langsung maupun tidak, dari proses pengentasan kemiskinan. Sehingga penanganannya pun ditampilkan sebagai perencanaan [dan dilakukan] secara menyeluruh.


Dengan itu, perlu ada orang-orang yang setia dan tekun serta masih mempunyai harapan ideal untuk membebaskan masyarakat dari kemiskinan. Oleh sebab itu, bukan hanya keterliatan masyarakat, tetapi juga perlu adanya good governance, yang jujur, bebas dari korupsi, adil, demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas, dan mendorong adanya kepastian hukum, sehingga mendatangkan [membuka peluang] untuk partisipasi masyarakat dalam menangani kaum miskin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar